Penulis: Djokolelono
Penerbit: Penerbit Mizan
Tahun: Agustus 2011
Hlm: 350
ISBN: 9789794336373
Sejak membaca review anak Rembulan dari oom htanzil saya langsung kepengen banget baca buku ini secara genre favorit saya genre fantasi, ga afdol dong kalo belum baca novel fantasi lokal yg katanya oke banget ini. Tapi sayang setelah dicari-cari di toko buku masih belum ada karena novelnya tergolong baru. Jadi ketika saya beruntung memenangkan buku ini setelah ikutan Kuis Komentar "Novel Fantasi Lokal" di mizan.com (thanks mizan!!) saya langsung baca habis buku ini. Memang baru sempat di review sekarang, agak terlambat, but better late than never ya kan? Hehe.
Pemeran utama kita kali ini anak lelaki bernama Nono yang pulang ke rumah Mbahnya di Desa Wlingi saat liburan sekolah. Bocah kelas lima SD ini tiba-tiba terlempar ke dalam dunia lain yang penuh dengan keanehan. Mungkin masa lalu, atau mungkin masa yang lain ketika di tanah jawa masih ada perebutan kekuasaan di kerajaan, ada Ratu kejam dan prajurit-prajurit setianya, orang Belanda yang menginvasi demi harta, ada geng pencuri dan bahkan demit yang menyaru jadi Dewi. Semuanya berbahasa Jawa tapi memakai bahasa Jawa kuno, memakai pakaian zaman dulu dan orang-orangnya memiliki aji-aji sakti.
Selama tersesat di dunia aneh itu, Nono menghadapi berbagai petualangan seru. Mulai dari bertemu dengan Trimo--anak yang kabarnya hilang saat ikut berjuang melawan penjajah, hampir mati dipenggal pasukan Belanda gara-gara kaus merah Manchester Unitednya, sempat dikejar-kejar Macan Kumbang hitam jelmaan mbah Padmo dan berakhir jadi jongos Mbok Rimbi yang sadis dan memaksanya kerja rodi. Ia bahkan berkenalan dengan geng pencuri, si Kangka, Jagal, Jlamprong, Pinten dan Tangsen (hayo yang suka sama pewayangan pasti familiar dengan nama-nama ini).
Petualangan Nono belum berakhir lho. Ia masih nyaris di umpankan ke kolam buaya oleh si Setan Merah--sebutan untuk Ratu yang kejam. Dan tiba-tiba saja ia terlibat dalam peperangan antara Sri Ratu Kejam, pangeran Mahesasuro, pangeran Lembusuro, geng pencuri Semut Hitam, Kapitan Belanda, Mbah Padmo, dan Non Saarce yang semuanya orang-orang sakti. Mampukah Nano menyelamatkan diri dari perang dan kembali ke dunianya?
Membaca buku ini seperti menelan mentah-mentah komentar sok tahu yang membuat saya memenangkan kuis, "Novel fantasi lokal belum bisa mencuri hati pembaca negeri sendiri karena penulis lokal seringkali berkiblat pada mitos-mitos dan gaung fantasi dunia barat. Seandainya penulis lokal mampu mengolah apa yang sudah disediakan budaya lokal dengan apik dan imajinatif, saya yakin pembaca akan datang sendiri."
Jujur, novel Anak Rembulan ini memiliki segala hal yang saya sebut dengan "olahan mitos budaya lokal" yang membuat novel ini sangat spesial. Sejak kecil saya merasa mitos-mitos lokal itu tak kalah mistisnya dengan dongeng dan mitos barat. Malah saya penasaran sekali dengan aji-aji sakti orang-orang zaman dulu, tentang kerajaannya, tentang sejarahnya, tentang lakon-lakonnya~ semua diceritakan dengan apik dalam novel ini. Paket komplit!
Meskipun begitu saya masih merasa ceritanya menggantung pada plot kedua ketika Nono terbangun dan mendapati kemiripan-kemiripan nama dan orang disekitarnya. Ada sedikit gaung kosong yang menciptakan tanda tanya. Mungkin jika diolah lebih mendalam dan rapi bisa terasa lebih lengkap. Tebal halaman saya rasa bukan masalah sepanjang kisahnya menarik, pembaca tidak akan keberatan. Saya masih merasa kekosongan di akhir cerita ini ada kelanjutannya. Apakah buku ini akan dibuat sekuelnya?
Yah, meskipun ada dua tiga hal yang dianggap Bloopers (istilah dalam film) dalam novel ini tapi okelah, masih bisa di toleransi. Sepanjang plotnya jelas, karakternya kuat dan hampir tidak ada yang istilahnya kebetulan disini (ada sih, tapi itu masih bisa ditoleransi karena dalam batas logika dan saya maklum) saya sih enjoy aja. Dan menurut saya, novel fantasi lokal yang secara sederhana menjejakkan imajinasinya dengan budaya lokal, karya Djokolelono ini bisa bersaing mantap jika disandingkan dengan novel-novel fantasi luar. Saya sangat berharap sekali ada lanjutannya. Atau kalau tidak ada sekuelnya, boleh dong karya sejenis dengan tema mitos lokal yang sederhana seperti ini diterbitkan.