Penulis: Erni Aladjai
Penerbit: Gagas Media
Hlm: 250
Tahun: 19 Agustus 2013
ISBN: 9789797806491
Awards: Pemenang Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012
Rating: 3/5
Sinopsis:
KEI:
Tanah Kei, berada di Maluku Tenggara. Pulai kecil yang terletak di antara Laut Banda dan Laut Arafuru. Penduduknya sangat menjunjung tinggi adat sehingga tidak membeda-bedakan apakah mereka muslim atau protestan. Semua penduduk Kei berasal dari satu leluhur, hendaknya saling menghormati, karena begitulah hukum adat Kei.
Namun rupanya kerusuhan pun sampai juga ke tanah Kei. Entah siapa yang memprovokasi dan sekali konflik dimulai, maka tidak akan berhenti. Karena satu desa dengan desa lainnya terus ingin membalas dendam sehingga terbentuk lingkaran setan yang tidak ada habisnya.
Namira, seorang gadis muslim kehilangan kedua orangtuanya dalam kerusuhan. Ia diselamatkan oleh orang-orang ketika konflik terjadi dan terpaksa tinggal di penampungan. Disana ia bertemu dengan seorang pemuda protestan bernama Sala yang lembut hatinya. Ia juga kehilangan keluarga satu-satunya, sang Ibu, ketika desanya habis dibantai perusuh. Namun dengan hatinya damai dan penuh belas kasih, ia tidak sedikit pun berniat membalas dendam seperti saudara sedesanya yang lain. Ketika bertemu Namira, Sala jatuh cinta. Mereka saling menjaga dan bersama-sama membantu para pengungsi.
Keseluruhan novel ini sendiri sangat kental dengan adat budaya Kei. Saya tidak meragukan riset mendalam yang dilakukan Erni Aladjai dalam proses menulis buku ini. Hukum adat Kei dibahas dengan mendetail dalam setiap deskripsi untuk menjelaskan keadaan yang sedang terjadi. Sebagaimana di awal bab sudah dijelaskan panjang lebar tentang ritual Tutup Sasi. Kemudian petuah-petuah yang menggambarkan betapa damainya hukum adat Kei itu.
"Nak, kau tahu dalam ajaran adat Kei, satu-satunya alasan orang berperang atau berkelahi adalah untuk mempertahankan kehormatan kaum perempuan dan kedaulatan batas wilayah. Tolong jangan berkelahi lagi. Laki-laki yang benar-benar lelaki tak akan sembarang berkelahi"-hlm. 44
Secara keseluruhan, saya salut dengan Erni yang berhasil mengangkat topik budaya adat Indonesia bagian timur dengan sangat baik. Karena jujur saja, karya sastra kita jarang mengambil topik budaya diluar budaya Jawa (yang saya tahu lho, mungkin sebenernya banyak, cuma saya aja yang kurang update).
Dari segi riset, isi, alur, plot dan gaya bahasa tentu tidak perlu ditanyakan lagi, panitia Sayembara Kesenian DKJ sudah membuktikan dengan memilih novel ini menjadi pemenang pilihan. Hanya saja, menurut selera saya novel ini lumayan flat.
Saya akui memang secara isi dan data tidak tercela, namun belum mampu menghadirkan suasana seperti yang seharusnya. Disaat kerusuhan terjadi, penduduk desa di bantai, saya turut merasakan ketragisannya, namun hati saya belum tergerak untuk benar-benar ikut sedih sampai nangis bombay.
Pun ketika kisah cinta Namira dan Sala berkembang, saya ikut mesam-mesem tapi tidak ada perasaan tergugah yang sebagaimana seharusnya kisah cinta. Ya mungkin karena kisah cinta mereka bukan roman picisan sih, ya saya maklum hehe. Namun saya rasa yang kurang dari novel ini ya nuansa nya. Entah kenapa feelnya belum dapet.
Anyway, saya menikmati mengikuti perjalanan dua anak manusia yang dipertemukan oleh konflik kerusuhan 1999. Dan terlebih lagi sangat menikmati detail budaya dan hukum adat Kei yang arif bijaksana. Jika bukan karena novel ini, saya mungkin tidak akan pernah tahu tanah Kei dan penduduknya eksis. Benar-benar ilmu berharga yang saya dapatkan dari novel Erni Aladjai. Pecinta sastra, wajib baca.
Terima kasih kepada Martina dan Erni Aladjai atas kisah dari tanah Kei yang luar biasa. Maaf karena setelah berbulan-bulan baru menyempatkan diri membaca. Dan juga butuh berbulan-bulan untuk menulis reviewnya.
Lihat covernya kupikir semacam novel Kismis. XD
BalasHapusWkwk, covernya keren IMO.. walo ga mencerminkan isi novelnya sama sekali.
HapusEh kalo kerusuhan, deskripsi pembacokan dll gitu menurut kang opan serem sih bs dibilang ini termasuk kismis, romance-kismis hehe
Sebagai orang yang pernah tinggal di daerah konflik, aku jadi penasaran nih. Tapi aku setuju banget dengan Oky, kayaknya novel yang setting nya di Indonesia (apalagi bagian Timur) malah kalah banyak dibandingkan novel yang settingnya di luar negeri. Semoga aja bisa menjadi inspirasi novelis-novelis yang lain, soalnya Indonesia kan kaya budaya, sayang aja kalo nggak digali lagi.
BalasHapusTop reviewnya, Oky!
Dulu sempat tinggal dmn emangnya mba?
HapusIyaaaa betul sekali, coba deh coba banyak yg nulis dengan setting lokal, terutama daerah timur tuh, dan utara (sumatera utara, medan, kalimantan dan sekitarnya). Biar bacaan kita beragam. Salah satu novel lain yg aku baca setting luar pulau jawa itu paling cuma karya nya Andrea Hirata, seri Laskar Pelangi ituu..
Aku dulu di Aceh, Oky. Tahun 2009 pindah ke Palembang :)
Hapusnovel yang keberapa ini mba erni?
HapusPunya bukunya, tapi belum dibaca *dikeplak*
BalasHapusTapi sejauh yang dibaca sedikit, novel ini keren, setting-nya kuat, bener-bener niat riset tentang Kei. Apalagi soal cinta beda agama yang saat itu lagi ngehits di tengah-tengah netizen. Kayaknya harus cepet-cepet dibaca nih :D
kalo belm dibaca, saya boleh pinjam utk baca duluan gak? hhe.
Hapussaya tertarik bacanya karena namanya mirip dengan namaku:D
Beli bukunya dimana ya? Sy butuh banget sekarang
BalasHapuscoba cari online kak
Hapus