Judul: Sweet Home
Penulis: Adeliany Azfar
Penyunting: Yuli Yono
Proofreader: Dini Novita Sari
Desain Cover: Bambang 'Bambi' Gunawan
Tahun: Oktober 2014
Hlm: 360
ISBN: 9786027742413
Rating: 4,5/5
Sinopsis:
SWEET HOME:
Pertemuan pertama Emily dan Tyler sungguh mendebarkan. Ia sedang mengendap-endap ke bekas kamar Mary, sahabatnya yang sudah pindah. Kamar itu sudah menjadi milik orang lain, tetangga barunya.
Ketika ia sedang mencari kertas pesawat di beranda kamarnya, saat itulah Tyler datang.
Ketika ia sedang mencari kertas pesawat di beranda kamarnya, saat itulah Tyler datang.
"Asal kau tahu saja, aku ini alien yang datang dari planet yang jauh sekali dari bumi."
"Tidak mungkin!" bantahku.
Ia tidak bereaksi dan tetap menatapku tenang. Aku terus mengamatinya lekat-lekat.
"Tidak ada orang lain yang tahu rahasia ini. Kau satu-satunya. Aku ini alien," ulangnya dengan nada datar.
Bisa bayangkan betapa shocknya Emily? Tetangga barunya ternyata alien!
Membaca novel Sweet Home ini serasa baca buku terjemahan dari penulis luar aja. Bukan hanya karena gaya bahasa, tapi setting latar, pilihan karakter dan budayanya pun budaya Amerika. Saya salut dengan riset mendalam tim penulis (kenapa saya bilang tim? Karena saya yakin editor dan proofread turut berperan memberi masukan soal riset detail deskripsi) karena yang saya dapatkan adalah novel komplit.
Komplit dalam arti kedalaman dan pengembangan karakternya oke, semua karakter juga dibahas dalam peran dan mendapat porsi yang pas. Nggak ada yang cuma sekedar jadi figuran atau numpang lewat. Lalu alur dan plot nggak diragukan lagi, sudah pasti bagus. Dan topik yang diangkat, mulai dari tema cinta remaja, persahabatan, dan keluarga juga dapat bagian sendiri-sendiri dalam porsi seimbang.
Dan saya salut bagaimana Adeliany Azfar mengemas dan menuturkannya dalam 350 halaman dengan sangat baik. Suasana country, perubahan musim, nuansa kekeluargaan, persahabatan antara Emily dan Mary, lalu dengan Tyler. Hubungannya yang rumit dengan Matt, sahabat sekaligus mantan pacarnya. Wow, saya seakan-akan berada disana bersama mereka, ikut menyaksikan semua hal itu.
Secara keseluruhan, ini adalah novel teenlit/young adult yang dipersiapkan secara matang. Bukan sekedar novel young adult tentang cinta monyet yang abal-abal. Nggak heran novel Sweet Home ini menjadi pemenang Kompetisi Menulis Penerbit Haru: 100 Days of Romance 2013.
Secara keseluruhan, ini adalah novel teenlit/young adult yang dipersiapkan secara matang. Bukan sekedar novel young adult tentang cinta monyet yang abal-abal. Nggak heran novel Sweet Home ini menjadi pemenang Kompetisi Menulis Penerbit Haru: 100 Days of Romance 2013.
Omong-omong soal 100 Days of Romance 2013, saya juga sudah baca dan mereview novel pemenang lainnya, People Like Us karya Yosephine Monica. Tentu saja kualitasnya pun tidak kalah oke dengan novel Sweet Home ini meskipun tema yang diangkat berbeda. Wow, saya salut deh sama penulis-penulis baru yang punya talenta luar biasa.
Satu hal saja hal yang kurang sreg di hati saya. Baik untuk novel Sweet Home dan People Like Us, yaitu semuanya berkiblat ke budaya Barat. Dengan kualitas penulisan seperti ini, sangat disayangkan kenapa penulis harus mengambil karakter barat, setting amerika, dan budaya mereka? Jujur, sepanjang membaca novel ini saya terus berandai-andai, ah ini kalau settingnya di Indonesia, misal Kalimantan (jarang kan ada yang ambil setting Kalimantan?), rumah Emily di kota besarnya, Samarinda misalnya.
Untuk pemerannya pun tidak bernama Emily, tapi Emi (biar terasa lokalnya). Terus si Matt, jadi Ahmad (oke, bukannya norak atau mendiskriminasikan nama Ahmad, tapi saya nyari padanan nama yang berima). Sedangkan nama Tyler jadi, Tyo. Lalu hobi Emi soal gitar itu bisa tetap gitar, karena gitar telah menjadi alat musik universal. Soal skateboard itu bisa diganti olahraga yang familiar saja, misal sepak bola atau bola voli atau bulu tangkis. Kemudian, ayah Em yang mantan penyanyi country terkenal bisa dimodifikasi menjadi mantan penyanyi keroncong paling terkenal di zamannya.
Setelah baca pengandaian saya diatas pasti banyak yang sewot, "Ah, cuma tukang review aja nyolot amat sih, yang nulis siapa yang bawel siapa?" tapi hey, sebelum saya menjadi tukang review, terlebih dahulu saya adalah seorang tukang baca. Dan apalah arti seorang penulis tanpa orang yang jadi pembaca karyanya? Lagi pula, saya bawel begini juga karena saya suka banget novel ini.
Satu hal saja hal yang kurang sreg di hati saya. Baik untuk novel Sweet Home dan People Like Us, yaitu semuanya berkiblat ke budaya Barat. Dengan kualitas penulisan seperti ini, sangat disayangkan kenapa penulis harus mengambil karakter barat, setting amerika, dan budaya mereka? Jujur, sepanjang membaca novel ini saya terus berandai-andai, ah ini kalau settingnya di Indonesia, misal Kalimantan (jarang kan ada yang ambil setting Kalimantan?), rumah Emily di kota besarnya, Samarinda misalnya.
Untuk pemerannya pun tidak bernama Emily, tapi Emi (biar terasa lokalnya). Terus si Matt, jadi Ahmad (oke, bukannya norak atau mendiskriminasikan nama Ahmad, tapi saya nyari padanan nama yang berima). Sedangkan nama Tyler jadi, Tyo. Lalu hobi Emi soal gitar itu bisa tetap gitar, karena gitar telah menjadi alat musik universal. Soal skateboard itu bisa diganti olahraga yang familiar saja, misal sepak bola atau bola voli atau bulu tangkis. Kemudian, ayah Em yang mantan penyanyi country terkenal bisa dimodifikasi menjadi mantan penyanyi keroncong paling terkenal di zamannya.
Setelah baca pengandaian saya diatas pasti banyak yang sewot, "Ah, cuma tukang review aja nyolot amat sih, yang nulis siapa yang bawel siapa?" tapi hey, sebelum saya menjadi tukang review, terlebih dahulu saya adalah seorang tukang baca. Dan apalah arti seorang penulis tanpa orang yang jadi pembaca karyanya? Lagi pula, saya bawel begini juga karena saya suka banget novel ini.
Bayangkan sodara-sodara, betapa novel tersebut akan lebih mudah dicerna dan terasa seperti dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Apalagi Indonesia punya keragaman budaya yang tiada duanya. Kenapa kita nggak maksimalkan potensi yang ada sebelum beralih ke budaya luar? Bayangkan betapa novel ini akan memberikan efek yang lebih besar bagi dunia kepenulisan teenlit dan sastra Indonesia.
Bukannya saya nggak puas atau gimana, tapi saking sukanya saya sama kisah sederhana yang ditulis dengan apik, saya jadi makin punya ekspektasi lebih terhadap novel ini. Apalagi saya sudah jarang sekali bisa menemukan novel young adult karya penulis lokal yang berkualitas. Rata-rata yang mainstream dan begitu-begitu saja.
Harapan saya, penulis yang memiliki kualitas seperti Adeliany Azfar dan Yosephine Monica penulis novel People Like Us, bisa lebih mengeksplore budaya lokal sehingga banyak pembaca yang dapat menikmati dan mengapresiasi Indonesia.
Bukannya saya nggak puas atau gimana, tapi saking sukanya saya sama kisah sederhana yang ditulis dengan apik, saya jadi makin punya ekspektasi lebih terhadap novel ini. Apalagi saya sudah jarang sekali bisa menemukan novel young adult karya penulis lokal yang berkualitas. Rata-rata yang mainstream dan begitu-begitu saja.
Harapan saya, penulis yang memiliki kualitas seperti Adeliany Azfar dan Yosephine Monica penulis novel People Like Us, bisa lebih mengeksplore budaya lokal sehingga banyak pembaca yang dapat menikmati dan mengapresiasi Indonesia.
Anyway, saya sangat menikmati kisah persahabatan Emily dengan Tyler, saya suka bagaimana cara Tyler mengatasi rasa sukanya ketika Emily masih belum bisa move on dari Matt, dan bagaimana Emily membantu Tyler untuk mengatasi masalah krisis kepercayaan terhadap orang tuanya. Ayo pecinta teenlit atau mungkin yang masih ABG, saya rekomendasikan buku ini untuk kalian baca :D
Serius, pengen baca! Aku sudah baca PLU, dan suka. Semoga yang ini juga cocok sama aku.
BalasHapusPesan moralnya lebih dapet dan lebih dalem PLU kang.. tapi kalau mau kisah yg sederhana dan lebih relate sama kehidupan sehari2 sih Sweet Home bagus :D
HapusApalah aku ini *apa*, buku ini masuk kategori Babat Timbunan barengan People Like Us, tapi sampai sekarang belum dibaca juga :(
BalasHapusTapi sejauh yang aku tau, SH dan PLU emang punya setting Amerika, begitupun kayaknya dengan satu novel lagi yang masih digarap di dapur penerbit, hasil keluaran 100 Days of Romance itu. Duuh, nggak sabar deh baca bukunya >w<
Apa sih Syifaaa hahaahha... plis deh kamu kemarin beli PLU cuma buat ditimbun #plak
Hapushidup Indonesia !! seandainya kak Oky bisa buat novel tema Indonesia yang kental banget, janji deh aku bakal beli ^_^))v
BalasHapushidup Indonesia !! seandainya kak Oky bisa buat novel tema Indonesia yang kental banget, janji deh aku bakal beli ^_^))v
BalasHapus