Minggu, 14 Agustus 2011

The Boy in the Striped Pyjamas


Judul: The Boy in the Striped Pyjamas: Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis
Penulis: John Boyne
Penerjemah: Rosemary Kesauli
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2007
Hlm: 240
ISBN: 9792229825

Review:

Pertama kali melihat di rak buku obralan cover buku bergaris yang sepaham dengan judulnya (striped--red) langsung menarik perhatian saya. Jadi ingat kalau dulu pernah pinjam filmnya (nggak tamat nontonnya karena terlalu monoton). Kemudian saya membaca sinopsis menarik di sampul belakangnya, izinkan saya kutip disini;

Kisah tentang Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis ini sulit sekali digambarkan. Biasanya kami memberikan ringkasan cerita di sampul belakang buku, tapi untuk kisah yang satu ini sengaja tidak diberikan ringkasan cerita, supaya tidak merusak keseluruhannya. Lebih baik Anda langsung saja membaca, tanpa mengetahui tentang apa kisah ini sebenarnya.

Kalau Anda membaca buku ini, Anda akan mengikuti perjalanan seorang anak lelaki umur sembilan tahun bernama Bruno (Meski buku ini bukanlah buku untuk anak kecil). Dan cepat atau lambat, Anda akan tiba di sebuah pagar, bersama Bruno.

Pagar seperti ini ada di seluruh dunia. Semoga Anda tidak pernah terpaksa dihadapkan pada pagar ini dalam hidup Anda.


Statement berikut, "Lebih baik Anda langsung saja membaca, tanpa mengetahui tentang apa kisah ini sebenarnya" bikin saya penasaran. Apa buku ini terlalu dangkal ya? Khawatir inti cerita cukup ringkas masuk ke sinopsisnya. Statement kedua "(Meski buku ini bukanlah buku untuk anak kecil)." ini juga menarik sekali. Meraba tebal buku dan brandol obral saya cuma harus bayar 10.000 kalo dipikir-pikir murah banget lho untuk kisah historical-fiction populer. Tipis sih bukunya, tapi kalo terbitan baru pasti dibrandol 30ribuan deh. Lucky me.



Ternyata POV novel ini diambil dari kacamata anak laki-laki berusia 9 tahun. Bruno namanya. Polos, sederhana, hanya menginginkan teman bermain saat keluarga mereka pindah ke rumah baru. Berada di lingkungan yang sepi tanpa tetangga, Bruno bisa melihat situs yang menurutnya kebun. Berisi petani-petani, ada yang tua, muda, maupun anak-anak. Semuanya memakai pakaian yang sama. Piama bergaris. Yang Bruno tak tahu, sebenarnya itu penjara, bukan kebun. Dan ayahnya adalah pimpinan tertinggi yang bertanggung jawab atas situs tersebut.



Bruno yang bosan karena tak punya teman bermain berharap bisa mengunjungi kebun tersebut dan berkenalan dengan anak-anak sebayanya. Saat ia melakukan ekspedisi, sampailah Bruno ke dekat pagar besi. Pada akhirnya bisa berteman dengan anak sebayanya yang juga berusia 9 tahun. Ia bertemu Shmuel. Teman barunya memakai "piyama" tentu. Dan persahabatan mereka terjalin tulus.



Peristiwa Holocaust

Sebelum baca buku ini saya sama sekali nggak tahu kalau kisah ini menyerempet isu holocaust, walau lebih ditekankan sisi persahabatan murni dua anak kecil. Saya bahkan nggak tahu apa itu holocaust! Buat yang belum tahu apa itu holocaust, izinkan saya menjelaskan apa yang saya dapat dari wikipedia, ehem *bersihin tenggorokan*; pada intinya, holocaust itu merupakan bentuk nyata dari rasisme, yang 'kabarnya' direalisasikan dengan penyiksaan, gas racun, pembunuhan, dll terhadap kaum Yahudi, penganut Katolik, orang cacat, ras Polandia, dst. Kebenaran peristiwa holocaust sendiri rupanya masih jadi pertentangan.



Adaptasi Film

Dulu pernah nonton filmnya tapi terasa sangat datar dan membosankan, bagi saya (saat itu). Saya masih ingat VCD saya matikan sampai adegan Bruno jatuh dari ayunan. Ceritanya nggak berat kok, nggak terlalu serius juga. Cuma agak miris aja. Miris banget.
Nah, setelah nyari-nyari filmnya (yang susah banget ditemukan di rentalan) dan nonton ternyata eh ternyata beda dari novelnya *yaiyalah* jadi izinkan saya meracau sedikit disini.


****
AWAS SPOILER!!
****



Oke, saya habis nonton filmnya. Dan saya nggak tahan untuk nggak ngasih SPOILER DISINI. Bagi yang belum baca dan belum nonton, lewati bagian ini.



So, saya agak kecewa sama filmnya karena, pertama; pemeran Jendral aka bapaknya Bruno (pemeran Remus Lupin dalam Harry Potter, btw) disini ga sesuai gambaran di novel dan Jendralnya kok lembek gitu. Di novelnya diceritakan kalau Jendralnya ini sama sekali nggak hangat, garang, berwibawa, berkharisma, miskin suara (alias jarang ngomong). Eh tapi di filmnya si Jendral malah ikut diskusi keluarga segala, membujuk Bruno untuk mau pindah, padahal di novelnya tuh si Bruno yang nyari Jendralnya supaya nggak usah pindah dan Jendralnya nggak mau ngebahas itu karena semua sudah diputuskan (secara sepihak, obviously).



Yang kedua; endingnya yang beda sama di novel. Cerita aslinya, setelah Bruno terseret arus dan di 'holocaust'--dibunuh dalam kamar gas (sampai sekarang saya masih belum tahu mereka itu di bakar hidup2, disemprot gas beracun, di ledakin pake bubuk mesiu atau gimana) keluarga dan anak buah Jendral aka tentara, masih nyari dia selama berhari-hari. Baru dua hari kemudian bajunya ditemukan. Trus beberapa minggu setelahnya baru deh si Jendral itu nyadar kalau Bruno sudah jadi korban. Mungkin di film untuk memberi sentuhan dramatis kali ya makanya adegannya keluarga mereka lari pontang-panting menjelang detik-detik "kamar gas" itu terjadi--yg obviously akhirnya mereka telat menyelamatkan Bruno.



Saat baca novelnya, rasanya kok datar sekali karena sebagian besar kisahnya adalah tentang Bruno yang bosan setengah mati karena nggak punya temen main, mau nggak mau bikin saya ikut bosan baca bukunya. Dan mungkin karena POV dari anak berusia 9 tahun (omong2 di filmnya kalo ga salah 8 tahun, apa subtittlenya yg salah ya?) jadi berasa kurang ekspresif (bagi saya). Tapi secara keseluruhan saya lebih suka bukunya dong, penyampaian polosnya anak-anaknya dapet meski dramatisnya--tentu--saya akui lebih bagus filmnya. Karena film selalu menyajikan sisi yang tidak mampu dieksplore buku, salah satunya adalah adegan gerak visual 2D.

12 komentar:

  1. Aduuuhh... Pengen banget baca novel yg satu ini... >,<

    Pasti sekarang nyarinya udah susah buanget deh. Ga pernah liat soalnya. Huhuhu Harus cari ebooknya nih tampaknya...

    Btw, itu pemeran Bruno di film kan yg jadi Hugo di Hugo Cabret. Pasti imut yah. Haha

    BalasHapus
  2. @mba Tika
    Iya aku juga dapat buku ini di rak obralan.. coba aja ke toko buku online mba, siapa tau masih ada stoknya.

    Iyaaa, masih kecil bgt dia di filmnya. Tapi aku lebih suka dia di Hugo, lebih ekspresif :D

    BalasHapus
  3. Nanti ngubek-ngubek Gunung Agung Depok deh. Semoga aja dia masih ada stok buku2 obral Gramed... ;p

    Ya ampunn.. Itu di Hugo itungannya ekspresif ya? Padahal aku nganggep si Asa di Hugo agak-agak datar ekspresinya. Gimana yg di film itu?? #ngebayangin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya~ itungannya ekspresif. Mungkin karena masih kecil kali ya, jadi masih kaku :P

      Semoga dapat bukunya mba Tika :D

      Hapus
  4. Wooh, ngebosenin ya... Hmm. Coba bandingin ama buku Sartre, Kata-Kata. Itu juga dari POV anak kecil (anak kecil penyendiri dan tukang baca lagi! kurang ngebosenin apa coba tuh karakter) tapi pemaparannya bagus banget. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heh!

      Haha. Tontonlah dulu mba arie

      Hapus
    2. Mba sy boleh beli bukunya tdk yg berbahasa indonesia?

      Hapus
  5. awwww, saya sih udah tau ttg isu holocaust pas baca buku ini. Dan sesuatu mngetok2 kepala saya ketika selesai baca ini :)

    btw, salam kenal...lagi blogwalking nih dan nemu ini..
    ps. twitnya pun lsg di follow LOL

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, salam kenal jugaaa :D:D:D
      Makasih uda mampir kesini ^^

      Iya, ceritanya emang tragis bin ironis, hiks.

      Hapus
  6. jadi ga berani baca novelnya gara-gara sad ending, apalagi aku pernah baca buku non fiksi tentang masa holocaust, jadi ga berani bayangin keadaan Bruno waktu endingnya:"(

    BalasHapus
  7. filmnya aja miris liatnya, apalagi bacanya -.- . tapi bagus sih, ini bagian dari sejarah ,

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...