Rabu, 30 Desember 2015

[Guest Post] 2015, Tahun Merayakan Sastra




  2015, Tahun Merayakan Sastra
oleh Dion Yulianto


Sebelum 2015 berakhir, saya masih punya utang kepada Oky untuk turut mengisi blog Kumpulan Sinopsis Buku milik Oky. Kali ini, karena mengulas buku sudah terlalu sering, saya hendak berbagi pengalaman membaca saya selama 2015 ini, sekaligus sejumlah pandangan dangkal saya terkait dunia buku di Indonesia. Entah kenapa, tapi saya merasakan aroma sastra kembali merajai dunia perbukuan di Indonesia selama 2015 ini. tanpa mengabaikan genre-genre lain yang tidak kalah ramai, saya menganggap tahun ini adalah tahun kembalinya sastra ke pangkuan pembaca Indonesia yang sudah selayaknya kita rayakan sebagaimana membaca itu sendiri adalah bentuk perayaan terhadap buku.


Gelagat sastra ini sudah mulai menghinggap ketika karya terjemahan saya Lukisan Dorian Gray karya Oscar Wilde terbit pada Fabruari 2015, entah kenapa saya mulai merasakan perbedaan dengan 2014. Tahun 2014 bagi saya adalah tahunnya Holmes menurut saya. Bukan saja karena serial Sherlock BBC tiba-tiba memiliki jutaan ribu penggemar dadakan atau cetak ulangnya buku-buku karya Sir Arthur Conan Doyle ini oleh berbagai penerbit di Indonesia dengan sampul tebal penuh actor Inggris itu, tapi juga—terkhusus saya—tahun 2014 adalah ketika empat buku terjemahan Sherlock saya terbit (dua diantaranya jadi best seller *duh combong dikit gapapa ya Ky hihihi). Tiba-tiba di penghujung tahun, saya diminta menerjemahkan Wilde yang sastra abis. Apakah ini pertanda? Karena bahasa sejatinya adalah tanda dan pertanda, entah siapa yang bilang gitu sapa dulu lupa.


Sepanjang 2015, buku baru dan buku lama silih berganti saya baca. Beberapa saya baca karena memang pengen ini baca, karena ikut challenge, karena dibuntelin, dan karena saya bosan dengan terjemahan Edgar Allan Poe yang nggak kelar-kelar *curhat* Tahun 2015 ini, saya  pertama berkenalan dengan Orizuka dan Ika Natasyya yang merupakan penulis dari genre yang jarang sekali saya sentuh. Dan, saya menyukai karya-karya mereka ternyata. Saya sendiri pembaca segala jadi kalau memang bukunya bagus ya jatohnya tetap bagus. Buku-buku lain yang saya baca masih sama dengan tahun 2014, yakni seputar fantasi (Magnus Chase, False Prince, History Keeper, Inkdeath, Halfbad-wild,dan lain-lain) yang mungkin kurang meninggalkan kesan tahun ini, entah kenapa. Mungkin karena saya kebanyakan baca fantasi.

21947404
Perubahan besar tampak pada jenis buku sastra. Melihat daftar bacaan saya di  Goodreads ternyata saya temukan sejumlah buku sastra lumayan berat yang biasanya hanya saya timbun dan cukup dipunya sebagai pertanda saya cinta sastra Indonesia. Karya berbau sastra yang sukar sekali saya lupakan adalah Aksara Ammanuna karya Rio Johan yang entah kenapa suka walau absurd-nya luar biasa. Rupanya, ketertarikan saya kembali kepada buku-buku sastra juga dialami oleh banyak pembaca di luar sana. Sastra Indonesia mulai menggeliat, bahkan penulis setenar Sapardi Djoko Darmono mengadakan temu pembaca untuk mempromosikan versi novelisasi dari Hujan Bulan Juni. Efek histeria sastra ini juga diramaikan dengan penerbitan ulang buku-buku karya sastrawan besar, mulai dari Eka Kurniawan hingga Pramoedya Ananta Toer (yang konon langsung ludes Bumi Manusia-nya)


Apakah ini bentuk latah masyarakat pembaca  dari demam sastra menjelang Frankfurt Book Fair yang tahun ini menjadikan Indonesia sebagai tamu kehormatan? Atau, hanya keberhasilan agen-agen marketing penerbit yang sukses mewarnai dunia buku Indonesia dengan buku-buku sastra yang beberapa tahun sebelumnya agak tidak dilirik. Kini, jika kita liat di goodreads, buku-buku sastra mulai bertebaran di linimasa. Mulai Cantik Itu Luka yang sepanjang masa hingga kumpulan Baju Bulan karya JokPin. Orang-orang pun mulai tertarik melihat reviewnya dan wah. Harus diakui, membaca buku-buku sastra dan mengulasnya memang memunculkan efek yang agak berbeda ketimbang ketika kita meresensi buku fantasi, misalnya. Setidaknya bagi saya, meresensi buku sastra seolah menjadikan saya sedikit mirip dengan seorang sastrawan dan rasanya bangga saja kalau ada teman yang ngecek goodreads dan tanya: "Yon, kamu sudah baca 100 Tahun Kesunyian ya?"

Berhubung saya juga kerja di penerbit, saya mendapat sedikit bocoran kalau tahun 2015, banyak penerbit yang lebih mencetak ulang buku-buku sastra atau menerbitkan buku dari penulis-penulis sastra yang sudah punya nama. Kenapa? Pasar novel sedang sepi tahun ini dan penerbit tempat saya bekerja pun menutup keran penerimaan naskah untuk fiksi dan hanya menerima fiksi yang sastra saja (meskipun masih absurd juga untuk menjelaskan fiksi sastra itu yang seperti apa?) Mungkin, bagi para penerbit, buku-buku sastra sudah memiliki pembacanya sendiri dan pasti akan selalu memiliki pembacanya sendiri. Dan tebakan mereka kali ini benar, buku sastra laris manis di 2015 ini. Saya sudah kesulitan mencari Kambing dan Hujan sejak dua bulan setelah buku pemenang penulisal novel DKJ itu diterbitkan. Bahkan buku Rain and Tears karya Faissal Oddang langsung hilang di gudang kantor seiring dengan melesatnya ketenaran Puya ke Puya.



Apakah ini bentuk lain dari membaca sastra sebagai ajang pameran? Sebagai ajang selfi lewat bacaan untuk menunjukkan kepada penghuni kerajaan Goodreads bahwa "saya sudah membaca Bumi Manusia loh' terlepas dia menikmatinya atau tidak. Bukan itu yang hendak saya soroti (dih sudah macam pengamat saja) di tulisan ini. Ramainya kembali buku-buku sastra dibaca seharusnya menjadi semacam perayaan terhadap sastra itu sendiri. Entah apa seseorang membaca Cantik Itu Luka sebagai bentuk hype sesaat ataukah memang sebagai sebuah pengalaman sastrawi; keduanya harus sama-sama kita dukung. Bukankah membaca itu sejatinya baik, tak peduli apa pun alasan dibaliknya?


Bukan hanya sastra, tapi juga bacaan jenis lainnya. Tahun ini mungkin tahunnya sastra, tapi setiap masa saya rasa juga punya bacaannya sendiri-sendiri sebagaimana setiap buku punya pembacanya sendiri. Sebagaimana Gao Xingjian yang menyebut bahwa penulis tidak akan pernah mati selama masih ada pembaca karya-karya, maka demikian pula pembaca. Pembaca tidak akan pernah 'mati' selama masih ada penulis-penulis yang menulis untuk mereka. Dan ketika buku ditulis dan dibaca, maka perayaan akannya tidak akan pernah ada habisnya.

4 komentar:

  1. Bukunya bagus-bagus, kayanya ceritanya juga bagus-bagus nih gan! Salam kenal ya !

    BalasHapus
  2. Kalo memang pecandu aksara, genre apapun dilahap juga, tidak peduli apapun yang sedang booming, karena booming itu hanya utk pembaca musiman.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi kalau sesuai dengan selera, yg musiman pun juga layak untuk dibaca lho :D

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...